Pelindasan Ojol oleh Baracuda adalah Cerminan Krisis Humanisme dalam Penanganan Aksi oleh Polri

Berita91 Dilihat

Oleh:

Mahar Muharram HAM, S.IP., M.AP

Akademisi Institut Teknologi dan Kesehatan Tri Tunas Nasional

Peristiwa pelindasan seorang pengemudi ojek online (ojol) oleh kendaraan taktis Baracuda milik Polri saat berlangsungnya aksi demonstrasi di Jakarta Pusat baru-baru ini yang viral di media sosial, bukan sekadar insiden biasa. Kejadian ini mencerminkan krisis kemanusiaan dan menegaskan bahwa pendekatan aparat dalam penanganan aksi di ruang publik masih jauh dari nilai-nilai demokrasi serta hak asasi manusia.

Insiden tersebut bukan hanya menyayat hati masyarakat, tetapi juga membuka mata kita bahwa negara belum sepenuhnya berhasil menempatkan rakyat sebagai subjek utama dalam proses demokratis. Dalam situasi ketika masyarakat menyuarakan aspirasi mereka—sebuah hak yang dijamin oleh konstitusi—respon negara seharusnya berupa perlindungan dan fasilitasi, bukan intimidasi apalagi kekerasan.

Ironisnya, pelibatan kendaraan taktis seperti Baracuda di tengah demonstrasi sipil menunjukkan bahwa pendekatan keamanan masih sangat militeristik. Hal ini mencerminkan kegagalan dalam membedakan antara penanganan kerusuhan dan penanganan aksi aspiratif. Yang lebih mengkhawatirkan, hingga kini belum tampak adanya akuntabilitas jelas dari pihak kepolisian atas peristiwa tersebut. Seolah-olah insiden ini hanya dianggap sebagai “kesalahan prosedur,” bukan pelanggaran serius terhadap kemanusiaan dan profesionalisme aparat.

Sebagai akademisi yang concern terhadap praktik pemerintahan dan kebijakan publik, saya menilai sudah saatnya tubuh Polri dievaluasi secara menyeluruh, khususnya terkait paradigma penanganan aksi massa. Prosedur operasional standar (SOP) harus ditinjau ulang agar lebih berorientasi pada pendekatan humanis dan non-represif. Aparat harus dilatih untuk menjadi fasilitator aspirasi publik, bukan sekadar alat pemaksa yang justru mengorbankan keselamatan rakyat.

Evaluasi internal pun tidak cukup bila hanya dilakukan oleh institusi itu sendiri. Harus ada keterlibatan lembaga independen, pengawasan sipil, serta kolaborasi dengan komunitas akademik untuk membangun sistem keamanan yang adil, transparan, dan berpihak pada rakyat. Tanpa itu semua, kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum akan terus menurun dari tahun ke tahun.

Lebih jauh, insiden ini menjadi peringatan bahwa demokrasi kita tengah diuji. Jika menyampaikan pendapat di muka umum dianggap sebagai ancaman, lalu dibalas dengan kekerasan oleh negara, maka muncul pertanyaan mendasar: untuk siapa negara ini dijalankan?

Pengemudi ojek online yang menjadi korban bukanlah bagian dari kelompok anarkis. Ia adalah simbol rakyat kecil yang mencari nafkah, dan dalam kasus ini justru terjebak di antara situasi yang tidak seharusnya merenggut nyawanya. Peristiwa ini menegaskan bahwa dalam paradigma keamanan negara, kehidupan rakyat kecil masih belum menjadi prioritas.

Oleh karena itu, kita semua harus menyerukan kepada pemerintah dan institusi Polri agar segera melakukan introspeksi dan reformasi menyeluruh dalam tubuh aparat penegak hukum. Jika tidak, insiden serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali terjadi, dan ketika itu tiba, harga yang harus dibayar bisa jauh lebih mahal.(red)

Facebook Comments Box